Pengertian Dienul Islam
Secara lughawî (etimologis) Islam
diambil dari kata aslama-yuslimu-islâman, kata kerja infinitif IV. Akar
katanya adalah s-l-m. Penelusuran terhadap kata dasar ini secara umum
memiliki dua kelompok kata yang saling berkaitan.[i]
Pertama, kata invinitif s-l-m yang berarti damai, selamat dan
sejahtera. Kedua, verba IV as-la-ma yang artinya patuh, tunduk,
berserah diri. Keterkaitan dua kelompok kata ini terlihat dari sintesa
keduanya, yakni kedamaian dan keselamatan akan terwujud melalui penyerahan diri
dan kepatuhan semata. Dalam konteks Islam sebagai ad-Dîn, maka
keselamatan dan kedamaian akan terwujud hanya ketika manusia melakukan
kepatuhan (submission) secara total kepada Tuhan; Allah SWT.
”(tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang
menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala
pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati”(QS.2: 112)
”Dan
Kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang
azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)” (QS.
39: 54)
Al-Quran
melalui ayat ini menggambarkan aktivitas penyerahan diri yang berbanding lurus
dengan kebajikan, dan selalu berujung pada kedamaian dan keselamatan para
pelakunya (orang-orang yang berserah diri atau disebut musîim).
Menurut
para linguist bahasa Arab, kata as-la-ma masuk dalam kategori trilateral
dengan tambahan satu huruf (tsulâtsî mazîd harf), yang salah satu
fungsinya masuk ke dalam keadaan baru baik dalam arti ruang maupun waktu.
Sehingga verba IV as-la-ma bisa bermakna memasuki babak baru dengan
meninggalkan yang lama. Pemaknaan seperti ini tidak berlebihan, mengingat
secara historis Islam turun di tengah masyarakat Arab dengan citra personal
ana-sentris; seperti al-anafah (tinggi hati) dan al-hammiyah (kesombongan).[ii]
Citra personal seperti ini menjadi kebanggan dan kemuliaan individu sehingga
sangat membuka peluang bagi perselisihan bahkan peperangan. Dalam konteks ini
Islam turun untuk meredam mentalitas jahiliyah menuju kondisi baru; yakni
suasana damai yang berpusat pada ketundukan dan kepasrahan kepada Sang Khalik.
Kecuali itu, Islam dimaknai sebagai babak baru dengan meninggalkan babak lama
yang berbasis penonjolan diri berlebihan, dan memasuki babak baru, yaitu
perilaku tunduk dan pasrah kepada Allah SWT.
Dengan
demikian di dalam Islam terdapat dua hal sekaligus, yaitu menyerahkan diri dan
menerima sesuatu. Muslim menyerahkan hidupnya untuk menjadi ’abdi secara
total (murni) dan membiarkan dirinya dikuasai Allah SWT, namun kemudian muslim
juga akan menerima ganjaran berupa kedamaian dan keselamatan hidup.
Pemaknaan
Islam tidak boleh berhenti pada makna lughawî saja, namun harus
dilanjutkan pada upaya memaknai Islam secara isthilâhî (baca; syar’î),
yakni Islam sebagai ad-Dîn. Karena tanpa makna terminologis ini, Islam
akan kehilangan eksistensinya sebagai ”jalan selamat” dan tereduksi fungsi hudan-nya.
Sebagai ad-Din (baca; tata keyakinan), Islam bukan sebatas esensi
penyerahan diri kepada Tuhan yang abstrak dan relatif (nisbi), tetapi juga
berwujud aktivitas konkret yang telah terdefinisikan secara tegas dan baku.[iii]
Seseorang
bertanya kepada teman barunya, apakah anda muslim? Dan sang teman
menjawab benar saya seorang muslim? Apa yang ada dalam benak anda ketika
mendengar percakapan ini? Hampir dipastikan anda akan menjawab bahwa keduanya
adalah muslim yang sama-sama berkewajiban mendirikan shalat, puasa dan lain
sebagainya. Ini adalah sesuatu yang mafhûm dan badihî, atau
bahkan ma’lûm dan dharurî. Maksudnya, arti Islam sudah sangat
jelas yakni bukan hanya sekadar gagasan tentang tunduk dan pasrah semata, namun
lebih dari itu Islam membutuhkan realisasi konkret tentang bagaimana tata cara
tunduk dan pasrah yang dimaksud. Inilah yang disebut dengan ad-Dîn;
yakni dain (perjanjian) antara hamba dan Allah SWT. Perjanjian ini
terjalin antara Allah dan para Nabi sang pembawa risalah-Nya di bumi yang dalam
al-Quran disebut mîtsâqan ghalîzhâ yang bermakna ’ahdun ’alâ al wafa’
(perjanjian berbasis ketaatan dan keikhlasan), atau perjanjian yang menuntut
pemenuhan. Perjanjian ini kemudian berujud pada seperangkat hukum (aturan)
Allah yang diwadahi oleh ad-Dîn yakni Islam. Seperangkat aturan itu
adalah tata cara berserah diri, karena Allah disembah dengan cara-cara tertentu
–meski tidak selalu sejalan dengan akal– dan bukan berdasar pada pertimbangan
akal. Sama halnya ketika anda memesan makanan tanpa ini dan itu, tentu si
penjual makanan akan memberikan apa yang anda minta tanpa berkomentar ini tidak
baik dan itu kurang bergizi –menurut pertimbangan penjual. Namun pesanan anda
adalah hak dan selera anda yang tidak dapat diganggu-gugat, dan harus diberikan
secara persis. Di sinilah letak uji nyali seorang muslim; nyali ketulusan,
ketundukkan, dan keikhlasan. Ujian yang menuntut sikap pasrah dalam arti
sebenarnya (kâffah).
Al-Islâm
untuk sebutan agama, adalah agama Allah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul ’alaihim
al-shâlatu wa al-salâm. Hal ini dapat dipahami secara jelas dari kesamaan
dasar dan intisari risalah yang dibawa para Nabi dan Rasul sebelumnya, yakni
ajaran tauhid.
”Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan
Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku" (QS. (21): 25).
Allah
SWT hanya satu (Esa), agama-Nya juga
satu yakni Islam. Agama yang satu ini pula yang diturunkan –kapanpun dan di
manapun– kepada semua Nabi dan Rasul-Nya. Oleh karena semua mereka Islam, maka
setiap muslim diharuskan beriman kepada semua Nabi dan Rasul.[iv]
Beberapa hal berikut semakin mengukuhkan keislaman para Nabi dan Rasul
terdahulu: tentang keislaman Nabi Nuh As (QS. 10: 72); keislaman Nabi Ibrahim
As (QS. 3: 67); wasiat Islam Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’kub As (QS. 2: 132); doa
Nabi Yusuf As supaya diwafatkan sebagai muslim (QS. 12: 101); keislaman Nabi
Musa As (QS. 10: 84); pernyataan Islam murid-murid Nabi Isa As (QS. 3: 52).[v]
Risalah para Nabi ini ditutup (baca;
disempurnakan) oleh kerasulan Nabi Muhammad Saw, dengan kesempurnaan wahyu al
Quran dan penjelasan-penjelasan as-Sunnahnya, baik qawliyyah, fi’liyyah,
maupun taqririyyah.[vi]
Kesempurnaan Islam dibawah naungan nubuwat Muhammad Saw, sangat dapat diterima
sebagai penyempurna risalah para Nabi sebelumnya. Tidak seperti Islam yang
dibawa para Nabi sebelumnya, Islam dalam kerasulan Muhammad Saw diperuntukkan
bagi seluruh umat manusia. Kecuali itu, menjadi tepat jika Islam (setelah
kesempurnaannya) kemudian menyandang misi rahmatan li al ’âlamîn.
”pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” (QS.(5): 3).
Lantas bagaimana definisi Islam secara isthilâhî
(terminologis)? Mendefinisikan Islam secara terminologis berarti merumuskan
ajaran illahi (Islam) secara keseluruhan. Banyak ulama dan cendikiawan muslim
yang coba mendefinisikan (baca; membatasi) Islam dari berbagai sudut pandang
dan aksentuasi (stressing) yang beragam. Yang terpenting, mendefinisikan
Islam mesti dilakukan secara objektif, tidak apologis dan emosional,[vii]
komprehensif dan mendasar, serta berbasis pada sumber otentik Islam, bukan berdasarkan
pada hasil studi realitas sikap dan pemahaman-pemahaman individu yang
seringkali bias dan parsial.
Sebelum sampai pada rumusan isthilâhî,
perlu dibahas unsur-unsur pembangun Islam dalam konteks makro,[viii]
yaitu pertama, hakikat Islam sebagai agama Allah yang murni di semua
aspeknya. Kedua, materi agama yang notabene adalah wahyu illahi
semata berupa aturan, petunjuk, perintah dan larangan. Ketiga, fungsi
Islam sebagai petunjuk, ideologi (faham) dan jalan hidup manusia. Keempat,
objek atau sasaran Islam yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia; siapa,
kapan dan dimana saja. Kelima, sumber Islam berupa wahyu al Quran dan
penjelasan al Sunnah sebagai gambaran otentik sang pembawa risalah; Nabi
Muhammad Saw. Keenam, tujuan disyariatkannya Islam adalah untuk
menciptakan kemaslahatan umat manusia, baik di kehidupan duniawi maupun
ukhrowi.
Sistematisasi di atas menjadi penting –untuk
tidak mengatakan harus– jika upaya pendefinisian terhadap Islam dilakukan dalam
rangka ekstraksi ajaran Islam, agar didapat pengertian Islam yang objektif,
komprehensif dan mendasar.
Dari uraian di atas, maka definisi Islam isthilâhî
dirumuskan sebagai berikut:[ix]
”Wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
Saw, yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah, berupa undang-undang serta
aturan-aturan hidup sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia untuk mencapai
kesejahteraan dan kedamaian hidup, baik di dunia maupun di akhirat”
Sebenarnya upaya mendefinisikan Islam
sudah berlangsung sejak periode Nabi dan sepanjang sejarah umat Islam sendiri.
Berbagai definisi ad-Dîn (Islam) misalnya, dapat dilihat dengan jelas
dan lugas dalam al-Quran, terutama dalam surat-surat Makkiah. Sebut saja
surat al-Ma’ûn, di mana ad-Dîn dimaknai sebagai usaha
mengejawantahkan Islam melalui tindakan-tindakan sosial tertentu seperti
menyantuni anak yatim dan memberi makan orang miskin. Dalam surat al-Kâfirûn,
ad-Dîn dikaitkan dengan praktek-praktek penyembahan kepada Tuhan.
Pendefinisian ini terus berlangsung hingga mencapai kesempurnaannya pada periode
akhir dakwah Nabi Saw.[x]
Barangkali definisi paling lengkap dan
paling gamblang untuk menjelaskan Islam sebagai ad-Dîn adalah
sebagaimana yang tertulis dalam salah satu hadits Nabi Saw, yang menjelaskan
tiga komponen utama pembangun ad-Dîn, yaitu iman, Islam dan ihsan. Iman
dimaknai sebagai tata kepercayaan secara hierarkis, Islam dijelaskan dengan
sebuah perjanjian hakiki dan universal (syahadatain) hingga tidak bisa
dibedakan Islamnya muslim di semua belahan dunia bahkan alam raya ini. Adapun
ihsan sebagai wujud ketulusan hati seorang hamba dalam berbakti (baca;
beribadah) kepada Allah SWT. Kecuali itu, ad-Dîn dalam hadits ini
didefinisikan sebagai suatu kesatuan dati ketiganya (iman-Islam-ihsan), di mana
tidak ada Islam kecuali sebagai buah dari iman, dan tidak berguna Islam jika
tidak berbasis pada ihsan.
Jadi bertolak dari uraian di atas,
jelaslah bahwa Islam adalah sekaligus institusi (baca; ad-Dîn). Dan
tidak benar jika Islam hanya dimaknai sebagai aktivitas personal semata. Juga,
untuk mendapatkan definisi Islam yang benar, maka harus melalui sumber-sumber
yang memadai untuk menjelaskan kompleksitas Islam. Karena Islam adalah wahyu,
maka yang memadai untuk menjelaskannya juga hanyalah wahyu. Dengan kata lain,
definisi Islam yang benar adalah apa yang tertuang dalam al-Quran dan as-Sunnah
al-shahîhah. Sementara apa yang ada di luar keduanya, hanyalah hasil
pemahaman akal manusia terhadap keduanya.
2.
Dasar (Sumber) Ajaran Islam
Meski diakui bahwa din bisa disematkan
kepada berbagai agama, selain Islam, namun din yang benar adalah yang melakukan
istislâm (total submission) kepada Tuhan Yang Esa (Allah Swt).
Tata cata submisson (berserah diri) kepada Tuhan sangat berkaitan dengan
konsepsi tentang Tuhan yang dipahami suatu agama. Karena kebenaran konsep Tuhan
akan turut menentukan tata cara berserah diri (baca; ibadah).[xi]
Untuk sampai pada konsepsi dan pemahaman
tentang Tuhan yang benar, maka harus ada penjelasan yang memadai. Dan tidak
diragukan, bahwa satu-satunya jalan yang memadai untuk menjelaskan hakikat
Tuhan hanyalah melalui jalan wahyu yang berasal dari Tuhan sendiri. Bukan
melalui interpretasi tradisi, etnis dan budaya atau percampuran ketiganya,
termasuk spekulasi filosofis. Kecuali itu, adanya intervensi manusia dalam
mencetuskan dan menetapkan hakikat Tuhan, berarti menghilangkan kemurnian
ajaran suatu agama, dan patut dipertanyakan eksistensinya sebagai agama
(wahyu).
Jika semua sepakat dengan logika di atas,
maka yang dapat dijadikan sebagai sumber (dasar) ajaran Islam adalah sumber
wahyu; al-Quran dan as-Sunnah saja, karena keduanya dapat berdiri sendiri dan
mengandung kebenaran (dhalâlah) pasti. Sementara ar-Ra’yu (akal),
bisa dijadikan dasar tetapi tidak bisa menjadi sumber ajaran Islam, karena
tidak dapat berdiri sendiri dan tidak mengandung kebenaran (dhalâlah)
pasti.[xii]
Kerja akal untuk melakukan penggalian suatu hukum yang tidak dijelaskan secara
jelas dalam al-Quran dan as-Sunnah disebut ijtihad. Dan ini adalah hanya
seperangkat metodologi untuk menguji dan memahami substansi Islam yang
terkandung dalam al-Quran dan as-Sunnah. Dengan demikan, kerja akal tetap tidak
bisa dilepaskan dari dua sumber ajaran Islam. Ini juga merupakan wujud
pernyerahan diri sepenuhnya, yaitu berpijak pada wahyu lalu menggunakan akal
untuk memahaminya, dan bukan sebaliknya berpijak pada akal untuk memahami
wahyu.[xiii]
Al Qur’an
Telah diuraikan di muka bahwa memahami
agama secara benar sangat menentukan untuk dapat beragama secara benar. Untuk
itu diperlukan rujukan (baca; sumber) yang memadai. Dan untuk memahami agama
wahyu (Islam) maka al-Qur’an menjadi pilihan pertama dan utama.
”Dan
Kami turunkan (Al Quran) itu dengan sebenar-benarnya dan Al Quran itu telah
turun dengan (membawa) kebenaran. dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan
sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan” (QS. 17: 105).
Kitab suci al-Qur’an secara harfiah
berarti ’bacaan sempurna’. Pemilihan nama ini sungguh tepat dan khas, mengingat
orang-orang Arab ketika itu menamakan himpunan hasil karya tulis mereka dengan Diwan.
Sebagian dari Diwan dinamakan Qasidah dan sebagian dari Qasidah
dinamakan Bait. Namun Allah SWT
menamakan himpunan firman-Nya dengan al-Qur’an, di mana sebagiannya dinamakan
surat dan sebagian surat dinamakan ayat.[xiv]
Secara istilah al-Quran difahami sebagai
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Saw dengan perantara malaikat Jibril,
sebagai mukjizat dan disampaikan kepada kita dengan jalan mutawatir,
menggunakan bahasa Arab, dimulai surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Nas.
Tiada satu bacaan pun sejak manusia
mengenal tulis-baca yang dapat menandingi al-Qur’an. Kitab suci ini senantiasa
dibaca oleh ratusan juta meski tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat
menuliskan aksaranya. Bahkan banyak kalangan yang menyediakan sebagian besar
waktunya untuk menghafal huruf demi hurufnya. Tiada bacaan seperti al-Qur’an
yang menumbuhkan semangat thalabul ’ilm hingga melahirkan jutaan jilid
buku yang diwariskan generasi demi generasi.[xv]
Keistimewaan yang demikian besar adalah
bukti bahwa al-Qur’an benar-benar wahyu dari Allah baik lafaz maupun maknanya.
Adapun bagi kalangan yang tidak setuju dan mengatakan bahwa al-Qur’an murni
dari Allah tetapi ucapan Nabi Saw yang notabene adalah orang Arab, maka
mari renungkan tiga hal berikut, yaitu pertama, fakta sejarah
menjelaskan bahwa Allah SWT menantang bangsa Arab plus sekutunya yang
telah mencapai puncak kejayaan sastra (baca; ilmu bayân) untuk membuat
semisal al-Qur’an. Namun tidak satupun dari mereka yang mampu membuatnya walau
satu ayatpun. Kedua, Nabi Saw adalah orang Arab yang ummi (tidak
pandai baca-tulis), sehingga akal sulit menerima jika para ahli sastra Arab
tidak mampu membuat satu ayat, namun Nabi Saw yang ummi bisa membuat
ribuan ayat. Adakah kejeniusan manusia mencapai ribuan kali di atas rata-rata?
Dan ketiga, al-Qur’an dan as-Sunnah menggunakan bahasa satu yakni bahasa
Arab dan berasal dari lisan satu yakni lisan Nabi Saw. Mungkinkah seseorang
memiliki dua gaya bahasa sekaligus?
Al-Qur’an diturunkan secara bertahap yakni
dalam kurun waktu 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari, baik ayat-ayat Makkiyah maupun
ayat-ayat Madaniah . Terdiri atas 30 juz, 114 surat dan 6240 ayat (tanpa basmalah).[xvi]
Tentu muncul beberapa pertanyaan terkait dengan masa turunnya al-Qur’an ini.
Mengapa diturunkan bertahap? Dan mengapa harus lebih 20 tahun?
Kebertahapan ini bisa dipahami bahwa
al-Qur’an benar-benar memiliki fungsi hudan, senantiasa aktual, tepat
guna dan memiliki daya lentur yang luar biasa. Kecuali itu, metode turunnya
al-Qur’an yang demikian menjadikan kitab suci ini senantiasa mampu ’bersahabat’
dengan kehidupan manusia berikut seluruh problematikanya.
Sebagai sumber hukum utama, al-Qur’an
memiliki amunisi yang maha lengkap. Dengan 114 surat, 6236 ayat, 74437 kalimat
dan 325345 huruf, maka tidak ada sesuatupun yang terlewatkan. Meski demikian,
apa dan bagaimana komposisi kandungan al-Qur’an masih diperselisihkan.[xvii]
Namun secara global isi al-Qur’an tercermin dalam surat al-Fatihah (ummu
al-Qur’ân); yang meliputi: masalah keimanan, masalah peribadatan, masalah
janji (sugesti) dan ancaman, dan masalah manusia, Tuhan dan alam. Atau bisa
juga melihat bagaimana Nabi Saw menggambarkan bahwa al-Qur’an diturunkan dari
tujuh pintu dan tujuh huruf, yakni: perintah, larangan, halal, haram, muhkam,
mutasyabih, dan amtsal.
Urgensi kehadiran al-Qur’an berkaitan erat
dengan misi kekhalifahan manusia dalam rangka memakmurkan Bumi, melakukan amal
shaleh dengan semangat egalitarian dan mengarahkan masyarakat menuju
kesejahteraan dan reformasi (al islâh).[xviii]
Kemampuan al-Qur’an dalam memberikan efek
modern dan kemajuan bukan sebuah idelitas utopistik dan sekadar pemanis
sejarah. Salah seorang Guru Besar dari Harvard University menyatakan, bahwa
dari 40 negara yang telah ditelitinya, ditemukan fakta yang sungguh
mengejutkan, yakni salah satu faktor utama kemajuan negara-negara tersebut
adalah terletak pada materi bacaan masyarakat terutama generasi mudanya, yang
disuguhkan dua puluh tahun sebelum kemajuannya. Para generasi muda dibekali
dengan sajian dan bacaan tertentu, hingga kemudian setelah dua puluh tahun para
generasi muda itu diberi peran dalam berbagai aktivitas. Dan ternyata peranan
yang dijalankan sangat dipengaruhi oleh sajian (bacaan) yang selama ini
diberikan.[xix]
Demikian dampak bacaan yang terlihat setelah dua puluh tahun, sama halnya
dengan al-Qur’an yang turun ketika para pengemban risalah Islam masih tergolong
pemuda-pemudi. Dua puluh tiga tahun periode dakwah Nabi Saw, Islam telah dapat
mengubah masyarakat barbar jahiliyah terbelakang, menjadi masyarakat madani
yang berkeadaban dan perperadaban tinggi. Umar ibn Khattab pernah berujar ”dulu
kita termasuk bangsa yang rendah, lalu Allah meluhurkan dengan Islam”. Ini
diakui oleh ilmuwan Barat Deutsch (1829-1873):
”saya melihat keajaiban satu kitab yang telah
menolong umat Arab dalam membuka dunia, lebih besar daripada apa yang diperbuat
Alexander de Groote, juga lebih besar dari apa yang dicapai Rumania. Pengaruh
al-Qur’an lah yang menarik bangsa Arab dalam sedikit masuk ke Eropa dan menjadi raja dunia”
Sebagai ’bacaan’, Kitab suci al-Qur’an
diturunkan memang untuk dibaca, sesuai dengan redaksi yang digunakan dalam
wahyu pertama; iqra’. Mengapa iqra’ yang menjadi pilihan pertama,
padahal Nabi Saw seorang ummî?
”Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya (QS. 96:
1-5).
Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti
’menghimpun’. Sehingga tidak harus selalu diartikan dengan membaca teks
tertulis dengan aksara tertentu. Dari makna ’menghimpun’ ini kemudian muncul
makna derivatifnya, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun
tidak.[xx]
Iqra’! (bacalah), tetapi apa yang harus dibaca? ”ma
aqra’?”–demikian pertanyaan Nabi Saw sewaktu menerima perintah tersebut.
Pertanyaan ini tidak dijawab dan memang tidak harus dijawab secara verbal.
Karena Allah menghendaki agar umat manusia membaca apa saja yang ada di alam
raya baik berupa realitas qowliyah maupun realitas kauniyah
selama masih dalam kerangka bismi Rabbika.
Ayat ini datang dengan membawa misi ’sadar
baca’ yang mempunyai makna luas dan mendasar untuk suatu misi kebangkitan dan
kemaslahatan umat manusia.[xxi]
Pengulangan perintah ’baca’ dalam wahyu pertama ini, memiliki setidaknya tiga
makna sekaligus, yaitu pertama, bahwa kecakapan membaca tidak bisa
diperoleh melainkan dengan cara membaca berulang-kali. Kedua, aktivitas
membaca sesuatu harus dilakukan secara maksimal sehingga memperoleh pemahaman
yang mantap. Ketiga, dengan membaca berulang-ulang tersebut, akan
menghasilkan pengetahuan baru meskipun yang dibaca sama.[xxii]
Tidak diragukan lagi bahwa fungsi utama
al-Qur’an adalah sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia. Salah satu
metode al-Qur’an dalam menjalankan fungsi hudan-nya adalah dengan metode
qishah. Daya cerita yang dikandung al-Qur’an ini sangat berguna untuk
menghantarkan manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya. Kisah-kisah faktual
atau simbolik al-Qur’an tidak segan-segan menuturkan kelemahan manusiawi
manusia, namun semuanya digambarkan dengan kalimat yang sopan tanpa mengundang
tepuk tangan atau sampai membangkitkan potensi (baca; emosi) negatif, tetapi
untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan itu, atau menggambarkan fluktuasi
kesadaran manusia saat berhadapan dengan godaan nafsu (syaitan). Penyair Al
Walid mengisahkan tentang surat al-Mudatsir: 11-29, ”aku diancamnya, tetapi
ia (al-Quran) tetap saja indah, biarpun pada waktu menghardik dan mengancam”. Di
lain tempat al-Qur’an juga mengimbanginya dengan kisah-kisah faktual yang
menceritakan tentang kehidupan yang ideal, sebagai dampak positif dari
kemantapan iman.
Di samping itu al-Qur’an juga berfungsi
sebagai pembeda (al-Furqan) atau pemisah antara baik dan buruk; sebagai
peringatan (adz-Dzikir) agar manusia tidak lengah dan terlena; sebagai
obat (asy-Syifa’) bagi penyakit ruhiyah (kejiwaan);[xxiii]
dan sebagai penjelas atau korektor (al-Bayân wa al-mushaddiq) bagi
kitab-kitab terdahulu. Kecuali itu, tujuan al-Qur’an tidak saja bersifat
religius dan mistik, namun lebih dari itu, al-Qur’an memiliki andil besar dalam
menciptakan peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dan stabilitas
hidup baik individu maupun kolektif.
Kesempurnaan dan keberhasilan misi suci
kerasulan Nabi Saw, digambarkan al-Qur’an dalam ayat terakhir (al-Maidah: 3).
Ini juga letak pembeda antara risalah Nabi Saw dengan risalah para Nabi
sebelumnya, yakni penegasan bahwa apa yang telah disampaikan adalah telah cukup
sempurna dan mencukupi sebagai institusi (baca; ad-Dîn) untuk diwariskan
kepada setiap generasi sesudah sampai akhir zaman.
As-Sunnah al-shahîhah
As-Sunnah menempati kedudukan kedua
sebagai sumber (hukum) Islam setelah al-Qur’an. Allah SWT telah memerintahkan
dalam firman-Nya yang muhkam untuk mentaati Rasul layaknya ketaatan
kepada-Nya. Allah SWT telah menjadikan sikap taat kepada Rasul-Nya sebagai
indikator ketaatan seseorang kepada-Nya.
”Barangsiapa yang mentaati
Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling
(dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka” (QS. 4: 80)
Yang demikian tersebut dikarenakan pada
diri Rasul/Nabi Saw terdapat sikap-sikap keteladanan sebagai realisasi
idealisme Islam tentang manusia sempurna (insan kamîl).
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (QS. 33: 21).
Tidak ada batasan tertentu dalam bertaat
kepada Nabi Saw ini. Artinya, ketaatan ini bersifat universal karena Nabi Saw
tidak akan pernah memerintahkan suatu perkara melainkan dalam koridor keridhaan
(wahyu) Allah SWT.[xxiv]
Kecuali itu, Nabi Saw tidak pernah melakukan interpretasi dengan menggunakan
akal pikirannya sendiri lepas dari petunjuk dan bimbingan Allah SWT. Nabi Saw
tidak berbicara tentang agama (al-Qur’an) secara mandiri dari analisis yang
bersifat individual, melainkan dengan isyarat-isyarat Allah SWT.[xxv]
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)” (QS. 53: 1-4)
Dengan demikian, pandangan beberapa
kalangan yang mengingkari kehujjahan as-Sunnah (hadits) dan hanya menerima
al-Qur’an, sesungguhnya telah terjebak dalam kebatilan nyata (ingkar sunnah),
dan tidak dapat dikatakan sebagai orang yang taat kepada Allah SWT. Pandangan
kelompok ini sangat rapuh dan tidak perlu digubris karena dilihat dari
substansi pengakuannya sudah tidak benar (baca; berdasar).
Lantas apa hakikat as-Sunnah sebenarnya?
Pada hakikatnya as-Sunnah juga merupakan wahyu illahi selain al-Qur’an. Kecuali
itu, bahwa ruh (baca; kandungan) as-Sunnah bermuara kepada Allah, hanya
tentunya dalam bentuk dan konteks yang berbeda dengan al-Qur’an.[xxvi]
Secara harfiah as-Sunnah (hadits) berarti
yang baru sebagai lawan dari yang dahulu (jadid diddu al qadim),[xxvii]
atau kabar berita; sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain.[xxviii]
Hadits seringkali dipersamakan dengan sunnah, meski ada kalangan yang
membedakan keduanya. Bagi yang berpandangan bahwa hadits dan sunnah murâdif
(sinonim), sunnah adalah segala sesuatu yang dipindahkan dari Nabi Saw, berupa
perkataan (qawliyah), perbuatan (fi’liyah), dan taqrir,
pengajaran, sifat, kelakuan dan perjalanan hidup baik yang terjadi sebelum masa
kenabian maupun sesudahnya.[xxix]
Namun bagi yang membedakan keduanya, sunnah dipahami sebagai sesuatu yang
sering dilakukan Nabi Saw atau bahkan sudah menjadi kebiasaan beliau. Sementara
hadits tidak demikian, yakni cukup dilakukan sekali dan diriwayatkan satu
orang, maka sudah memadai. Dengan kata lain, sunnah meliputi (lebih luas dari)
hadits.
Status atau tingkat validitas as-Sunnah
sebagai sumber Islam demikian kuat, mengingat di satu sisi secara substansial
merupakan wahyu Allah SWT yang jelas dan legal, dan di sisi lain secara
metodologis memenuhi kriteria ilmiah; peliputan secara seksama, diperhatikan
unsur validitas, reabilitas serta objektivitasnya.[xxx]
Dalam upaya kodifikasi dan uji keabsahan sebuah hadits, digunakan metodologi
penelitian as-Sunnah yakni ilmu musthâlah al-hadîts. Di sini, dijelaskan
semua kriteria dan prasyarat diterimanya hadits (sunnah) dari aspek pembawanya
(perawi), isi (matan) dan lainnya. Secara historis, proses penulisan (tadwîn)
hadits penting untuk disimak. Di mana Nabi Saw semula melarang untuk menulis
hadits yakni di masa al-Qur’an turun, namun menjelang akhir hayatnya beliau
mengijinkan para sahabatnya untuk menulis hadits. Hal ini disengaja Nabi Saw
agar antara al-Qur’an dan as-Sunnah tidak terjadi kerancuan/pembauran (over
lapping), dan menunjukkan betapa beliau memiliki perhatian terhadap kedua
sumber Islam tersebut. Upaya penulisan hadits secara legal dan masif baru
dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (99 H-101H), khalifah
kedelapan dari Dinasti Umayyah.
Sebagai sumber kedua, as-Sunnah tentu
memiliki fungsi yang tidak sama dengan sumber utama (al-Qur’an). Signifikansi
kehadiran as-Sunnah terletak pada perannya sebagai tafsir utama al-Qur’an;
menyingkap rahasia-rahasia dan menjelaskan maksud Allah SWT.
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. 16: 44).
Adapun beberapa fungsi yang diperankan as-Sunnah,
yaitu:[xxxi]
1. Sebagai penguat (ta’kîd) terhadap
ketentuan hukum dalam al-Qur’an.
2. Sebagai penjelas (bayân) terhadap
apa yang dimaksud al-Qur’an. Adapun objek bayan as-Sunnah adalah tafshîl
dan takhshîsh terhadap ayat yang mujmal (global), ayat mutlaq,
dan ayat ’am (umum), ta’yîn terhadap ayat yang musykîl
(sulit dipahami), serta bayân nasakh terhadap mana ayat nasîkh dan
mana ayat mansûkh.
3. Sebagai penghapus (nasakh); yakni
menghapus hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an, terutama bagi yang berpendapat
as-Sunnah boleh me-nasakh ayat al-Qur’an.
4. Sebagai dalil mandiri (tasyrî’);
yakni menjadi dalil hukum atas sesuatu yang didiamkan al-Qur’an.
Tentunya tidak semua hadits
dapat menjalankan peran seperti di atas, karena berbeda dengan al-Qur’an, ada
sebagian hadits yang tidak memenuhi kriteria shahih (benar), sehingga hadits
yang bisa menjalankan fungsi dan dijadikan hujjah hanyalah as-Sunnah al-shahîhah.
Ar-Ra’yu /Ijtihad
Adalah Mu’adz bin Jabal, sahabat yang akan
dikirim Nabi Saw menjadi qadli di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi Saw
mempertanyakan metode yang akan digunakan Mu’adz dalam menetapkan suatu hukum.
Ia menjawab bahwa segala permasalahan akan diselesaikannya dengan al-Qur’an,
namun jika di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan, ia akan menetapkan dengan
sunnah Rasul, pun jika tidak ada penjelasan dalam sunnah, maka ia akan
melakukan istinbath hukum berdasar pada pertimbangan akal pikirannya (ijtihad).
Terhadap jawabannya ini, Nabi Saw menyatakan kekagumannya (persetujuan) seraya
menepuk pundak sang sahabat.
Kisah ini di satu sisi menunjukkan adanya
kesadaran Nabi Saw terhadap sunnatullah; yakni kecenderungan zaman yang terus
berubah (berkembang), dan di sisi lain Nabi Saw mengakui peran vital akal untuk
turut andil dalam menyelesaikan permasalahan hidup manusia. Perkembangan dan
perubahan ini tentunya akan membawa permasalahan baru yang jelas berbeda dengan
masa lalu. Hanya, setiap permasalahan baik dahulu, kini maupun akan datang,
sama-sama menuntut penyelesaian secara baik (koridor manfaat) dan benar
(koridor syariat). Lantas bagaimana Islam mempertahankan eksistensinya di
tengah dinamika perkembangan dan perubahan?
Upaya untuk mempertahankan orisinalitas
Islam dengan menafikan perubahan, akan mengakibatkan agama (Islam) kehilangan
konteks, jumud dan kehilangan kemampuan menyapa. Namun, pemihakan terhadap
perubahan dan mengabaikan aspek orisinalitas agama, maka akan mereduksi
identitas Islam sebagai agama wahyu, dan fungsinya sebagai ’jalan selamat’.
Karena itulah sejak awal Islam telah mengatur ragam domain keagamaan; di mana
ada wilayah yang hanya perlu diimani dan dijaga orosinalitasnya, dan ada
wilayah yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan akal, sesuai dengan
perkembangan zaman.
Apakah berarti Islam belum sempurna? Tentu
tidak demikian. Islam jelas telah sempurna, dan justru aktivitas pelibatan akal
adalah dalam rangka mempertahankan eksistensi Islam yang sempurna.
Seperti telah dijelaskan di awal,
aktivitas akal untuk urun-rembug dalam mendapatkan ketentuan agama
terhadap suatu permasalahan disebut ijtihad. Secara harfiah ijtihad berarti
mengerjakan sesuatu dengan penuh kesungguhan. Sehingga dalam konteks ini
ijtihad dimaknai sebagai penggunaan akal secara maksimal untuk mendapatkan
ketentuan mengenai hukum agama (Islam) dengan jalan ber-istinbath dari
al-Qur’an dan as-Sunnah, karena tidak terdapat dalil nash yang sarih dan mantûq
terhadap hal itu.[xxxii]
Dengan ini menjadi jelas bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah menjadi landasan dalam
melakukan ijtihad, dan akal tidak berdiri sendiri. Kecuali itu, ijtihad
merupakan metodologi penggalian hukum yang muncul sebagai konsekuensi logis
dari pengakuan terhadap kedudukan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum
Islam yang berlaku sepanjang masa.
Namun aktivitas ijtihad tentu tidak dapat
dilakukan secara masif dan serampangan. Dari aspek subjek (mujtahid), ijtihad
dapat dilakukan oleh siapa, di mana dan kapan saja, sepanjang telah memenuhi
syarat atau kriteria memadai. Tanpa ini, lantas bagaimana membedakan orang yang
beritikad untuk menegakkan Islam dengan orang yang hanya berniat menghancurkan
Islam? Tanpa ini pun, akal akan kehilangan fungsinya sebagai pengikat agar
tidak jatuh dalam kesesatan. Untuk itulah para ulama menggariskan kriteria
tertentu bagi para mujtahid, yaitu: syarat umum (Islam, dewasa, sehat akal dan
berdaya intelektual);[xxxiii]
syarat pokok (menguasai ilmu al-Qur’an, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, bahasa
Arab, memahami tujuan syariat Islam dan qawaid kulliyah dan fiqhiyah);[xxxiv]
syarat pelengkap (mengetahui perkara-perkara ijma’, khilafiyah dan belum ada
kepastian hukum, mengetahui tidak adanya dalil qath’i terhadap kasus yang
dihadapi, saleh dan taqwa).[xxxv]
Sedangkan dari aspek objek (sasaran),
ijtihad hanya berlaku pada wilayah tertentu, seperti pada hal-hal yang tidak
memiliki ketentuan hukum secara jelas, ayat-ayat/hadits yang tidak (begitu)
jelas maksudnya. Ketidakjelasan ini disebabkan karena kandungan makna yang
lebih dari satu. Termasuk dalam hal ini adalah ayat-ayat yang ketika
diimplementasikan secara tekstual seringkali berseberangan dengan kemaslahatan
umat.[xxxvi]
Sehingga diperlukan kerja akal (ijtihad) untuk menemukan moral ideal teks dan
merumuskan legal spesifik yang baru. Namun terhadap wilayah format ritual Islam
dan perkara yang telah diatur secara sarih, maka tidak berhak dilakukan
ijtihad. Dalam hal ini Allah tidak perlu menjelaskan ’illat (alasan)
mengapa thawaf harus tujuh kali putaran dengan ka’bah di sisi kiri, pun tidak
perlu penjelasan rasional mengapa shalat subuh itu dua rakaat.
Membatasi aktivitas ijtihad bukan berarti mempersempit atau menutup
pintu ijtihad. Hanya, ijtihad merupakan derajat dan martabat yang tinggi secara
syar’i,[xxxvii]
untuk mengentaskan kejahilan umat dan memberantas mental taqlid buta. Sehingga,
kontekstualisasi pemahaman teks-teks normatif mengandung makna bahwa masyarakat
di mana dan kapan saja berada, selalu dipandang positif optimistis oleh Islam
yang dibuktikan dengan sikap khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata yang ada
selama mengandung kemaslahatan umat manusia. Kecuali itu, benarlah bahwa al-Islâm
shâlih li kulli zamân wa makân (Islam baik dan relevan di setiap masa dan
tempat).[xxxviii]
[i]
Syamsul Anwar. 2005. Pemikiran Muhammadiyah: Respon terhadap Liberalisasi
Islam. Surakarta: Muhammadiyah University Press UMS.
[ii] Idem.
[iii] Idem.
[iv] Hamka, dalam Tatapangarsa, dkk. 2002. Pendidikan
Agama Islam untuk Mahasiswa. Malang: Unit Pengelola Mata Kuliah Umum UM
Malang.
[v] Tatapangarsa, dkk. Idem.
[vi] Pandangan ini sama dengan yang tertuang
dalam buku saku Prinsip-prinsip Muhammadiyah. 1992. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang
[vii] Abdul Majid. 1996. Al-Islam.
Malang: Lembaga Studi Islam-Kemuhammadiyahan UMM
[viii] Idem
[ix] Idem
[x] Syamsul Anwar. Loc. Cit.
[xi] Adian Husaini. Idem.
[xii] Buku Saku Prinsip-prinsip Muhammadiyah.
1992. Malang: UMM
[xiii]
M. Quraish Shihab. 2005. Logika
dan Agama. Jakarta: Lentera Hati
[xiv] Tatapangarsa, dkk. 2002. Pendidikan
Agama Islam untuk Mahasiswa. Malang: Unit Pengelola Mata Kuliah Umum UM
Malang.
[xv] ----------------------. 2003. Wawasan
Al-Qur’an. Jakarta: Mizan
[xvi] Abdul Majid. 1996. Al-Islam.
Malang: Lembaga Studi Islam-Kemuhammadiyahan UMM
[xvii] Tatapangarsa, dkk. Loc. Cit.
[xviii]
Muhammad Alwi al-Maliki. 2003. Syariat Islam. (terj. Mustaqim).
Yogyakarta: elSAQ Press.
[xix]
M. Quraish Shihab. Op. Cit.
[xx] Idem.
[xxi]
Abdul Majid. Loc. Cit.
[xxii]
M. Quraish Shihab. Op. Cit.
[xxiii] Tatapangarsa, dkk. 2002. Pendidikan
Agama Islam untuk Mahasiswa. Malang: Unit Pengelola Mata Kuliah Umum UM
Malang.
[xxiv] Muhammad Alwi al-Maliki. 2003. Syariat
Islam. (terj. Mustaqim). Yogyakarta: elSAQ Press.
[xxv] Abdul Majid. 1996. Al-Islam.
Malang: Lembaga Studi Islam-Kemuhammadiyahan UMM
[xxvi] Idem.
[xxvii] Mahmud Thahhan. Taisir Mushthalah
al-Hadits. Beirut: Darul Fikri
[xxviii] Tatapangarsa, dkk. 2002. Pendidikan
Agama Islam untuk Mahasiswa. Malang: Unit Pengelola Mata Kuliah Umum UM
Malang.
[xxix]
Idem.
[xxx]
Abdul Majid. Loc. Cit.
[xxxi] Muhammad Alwi al-Maliki. 2003. Syariat
Islam. (terj. Mustaqim). Yogyakarta: el SAQ Press.
[xxxii] Buku Saku Prinsip-prinsip Muhammadiyah.
1992. Malang: UMM
[xxxiii] Zuhdi, dalam Abdul Majid. Loc. Cit.
[xxxiv] Tatapangarsa, dkk. 2002. Pendidikan
Agama Islam untuk Mahasiswa. Malang: Unit Pengelola Mata Kuliah Umum UM
Malang.
[xxxv] Zuhdi, dalam Tatapangarsa, dkk. Idem.
[xxxvi] M. Saad Ibrahim. 2005. Pemikiran
Muhammadiyah: Respon terhadap Liberalisasi Islam. Surakarta: Muhammadiyah
University Press UMS.
[xxxvii] Muhammad Alwi al-Maliki. 2003. Syariat
Islam. (terj. Mustaqim). Yogyakarta: elSAQ Press.
[xxxviii] M. Quraish Shihab. 2005. Logika dan
Agama. Jakarta: Lentera Hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar