Minggu, 04 Januari 2015

KATALOG ORIFLAME COSMETICS JANUARI 2015

Oriflame Cosmetics
Oriflame Cosmetics


Hay ladies... Hay Oriflamer....
Happy New Years ya...
Semoga bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan segala cita-cita tahun ini bisa tercapai...
Aamiiin.....

Nah di awal tahun baru ini produk oriflame banyak banget harga-harga spesialnya...
apa lagi klo joint ada produk gratisan dari oriflame lhoo....
mau mamber?
 yuuk langsung merapat ke 085706664245 wa/sms
Klo belanja lebih dari 200K dapat harga spesial juga dari saya...
Mari ladies jangan sia-siakan kesempatannya .... ^_^




Rabu, 01 Oktober 2014

BIO CLINIC Adult Skin Anti-Breakout

Anyeong oriflamer ^_^

Halloo....oriflamer yang so smart. Sekarang saya akan merekomendasikan produk oriflame buat kalian yang bermasalah dengan jerawat yang bikin anda kurang percaya diri dengan bekas jerawat tersebut. Pastilah Oriflame itu selalu berkolaborasi dengan nature products. Bio Clinic Adult Skin Anti-Breakout dengan Centela asiatica dan Salicylid acid dapat membantu membersihkan pori-pori, menjaga kulit wajah anda dari jerawat dan menyamarkan bekas jerawat.


Gambar : Adult Skin Anti-Breakout

      Adult Skin Anti-Breakout menggunakan bahan alam berupa Centela asiantica atau pegagan. Pegagan ini merupakan tanaman liar yang sering tumbuh di kebun, ladang, sawah maupun di pingir jalan. Tetapi jangan salah  tanaman ini mengandung beberapa zat yang bermanfaat buat kita, Diduga Centela asantica atau pegagan ini mengandung glikosida triterpenoida yang perupakan penyembuh luka yang luar biasa, mengandung tonik yang berfungsi untuk mengembalikan kondisi normal jaringan. saponin menghambat produksi jaringan bekas luka yang berlebih, dan mengandung antibakteri

Gambar : Pegagan atau Centela asiantica

Selain itu Adult Skin Anti-Breakout juga mengandung Salicylic acid yang merupakan zat terbaik untuk mengatasi jerawat. 

Nah, Kenapa harus pilih Bio Clinic Adult Skin Anti-Breakout
1. Bahannya dari alam (Pegagan atau Centela asiantica) mengurangi resiko perusakan kulit jangka panjang.
2. Menggunakan zat terbaik untuk mengatasi jerawat.
3. Dapat digunakan Pagi dan Malam
4. Menggunakan botol pompa yang higienis
5.  Harga normal Rp 369.00,- untuk periode oktober 2014 hanya Rp 185.000,-

Jika anda berminat silahkan hubungi saya
085706664245 SMS/WA atau Pin BBM 73d4cd48

Terimakasih


KATALOG ORIFLAME OKTOBER 2014

Oriflame Cosmetics


Oriflame Cosmetics

Hai oriflamer, Nah ini ada produk branded yang keren abis dari oriflame yang baru aja launching panggilannya "The One" karena ini penawaran perdana anda akan mendapatkan harga khusus. Selain itu setiap belanja produk The One senilai Rp 149.00,- Gratis Gelang cantik lho... ( Kecuali aksesoris)
Produknya elegan, Kualitas terprcaya, dan lagi Diskon. Yuk buruan di Order.
Bisa hubungi 085706664245, 082177264564 (WA). Pin BBM 73d4cd48.

Selasa, 16 September 2014

DIENUL ISLAM

Pengertian Dienul Islam
Secara lughawî (etimologis) Islam diambil dari kata aslama-yuslimu-islâman, kata kerja infinitif IV. Akar katanya adalah s-l-m. Penelusuran terhadap kata dasar ini secara umum memiliki dua kelompok kata yang saling berkaitan.[i] Pertama, kata invinitif s-l-m yang berarti damai, selamat dan sejahtera. Kedua, verba IV as-la-ma yang artinya patuh, tunduk, berserah diri. Keterkaitan dua kelompok kata ini terlihat dari sintesa keduanya, yakni kedamaian dan keselamatan akan terwujud melalui penyerahan diri dan kepatuhan semata. Dalam konteks Islam sebagai ad-Dîn, maka keselamatan dan kedamaian akan terwujud hanya ketika manusia melakukan kepatuhan (submission) secara total kepada Tuhan; Allah SWT.

(tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”(QS.2: 112)

”Dan Kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)” (QS. 39: 54)

            Al-Quran melalui ayat ini menggambarkan aktivitas penyerahan diri yang berbanding lurus dengan kebajikan, dan selalu berujung pada kedamaian dan keselamatan para pelakunya (orang-orang yang berserah diri atau disebut musîim).
            Menurut para linguist bahasa Arab, kata as-la-ma masuk dalam kategori trilateral dengan tambahan satu huruf (tsulâtsî mazîd harf), yang salah satu fungsinya masuk ke dalam keadaan baru baik dalam arti ruang maupun waktu. Sehingga verba IV as-la-ma bisa bermakna memasuki babak baru dengan meninggalkan yang lama. Pemaknaan seperti ini tidak berlebihan, mengingat secara historis Islam turun di tengah masyarakat Arab dengan citra personal ana-sentris; seperti al-anafah (tinggi hati) dan al-hammiyah (kesombongan).[ii] Citra personal seperti ini menjadi kebanggan dan kemuliaan individu sehingga sangat membuka peluang bagi perselisihan bahkan peperangan. Dalam konteks ini Islam turun untuk meredam mentalitas jahiliyah menuju kondisi baru; yakni suasana damai yang berpusat pada ketundukan dan kepasrahan kepada Sang Khalik. Kecuali itu, Islam dimaknai sebagai babak baru dengan meninggalkan babak lama yang berbasis penonjolan diri berlebihan, dan memasuki babak baru, yaitu perilaku tunduk dan pasrah kepada Allah SWT.
            Dengan demikian di dalam Islam terdapat dua hal sekaligus, yaitu menyerahkan diri dan menerima sesuatu. Muslim menyerahkan hidupnya untuk menjadi ’abdi secara total (murni) dan membiarkan dirinya dikuasai Allah SWT, namun kemudian muslim juga akan menerima ganjaran berupa kedamaian dan keselamatan hidup.
            Pemaknaan Islam tidak boleh berhenti pada makna lughawî saja, namun harus dilanjutkan pada upaya memaknai Islam secara isthilâhî (baca; syar’î), yakni Islam sebagai ad-Dîn. Karena tanpa makna terminologis ini, Islam akan kehilangan eksistensinya sebagai ”jalan selamat” dan tereduksi fungsi hudan-nya. Sebagai ad-Din (baca; tata keyakinan), Islam bukan sebatas esensi penyerahan diri kepada Tuhan yang abstrak dan relatif (nisbi), tetapi juga berwujud aktivitas konkret yang telah terdefinisikan secara tegas dan baku.[iii]
            Seseorang bertanya kepada teman barunya, apakah anda muslim? Dan sang teman menjawab benar saya seorang muslim? Apa yang ada dalam benak anda ketika mendengar percakapan ini? Hampir dipastikan anda akan menjawab bahwa keduanya adalah muslim yang sama-sama berkewajiban mendirikan shalat, puasa dan lain sebagainya. Ini adalah sesuatu yang mafhûm dan badihî, atau bahkan ma’lûm dan dharurî. Maksudnya, arti Islam sudah sangat jelas yakni bukan hanya sekadar gagasan tentang tunduk dan pasrah semata, namun lebih dari itu Islam membutuhkan realisasi konkret tentang bagaimana tata cara tunduk dan pasrah yang dimaksud. Inilah yang disebut dengan ad-Dîn; yakni dain (perjanjian) antara hamba dan Allah SWT. Perjanjian ini terjalin antara Allah dan para Nabi sang pembawa risalah-Nya di bumi yang dalam al-Quran disebut mîtsâqan ghalîzhâ yang bermakna ’ahdun ’alâ al wafa’ (perjanjian berbasis ketaatan dan keikhlasan), atau perjanjian yang menuntut pemenuhan. Perjanjian ini kemudian berujud pada seperangkat hukum (aturan) Allah yang diwadahi oleh ad-Dîn yakni Islam. Seperangkat aturan itu adalah tata cara berserah diri, karena Allah disembah dengan cara-cara tertentu –meski tidak selalu sejalan dengan akal– dan bukan berdasar pada pertimbangan akal. Sama halnya ketika anda memesan makanan tanpa ini dan itu, tentu si penjual makanan akan memberikan apa yang anda minta tanpa berkomentar ini tidak baik dan itu kurang bergizi –menurut pertimbangan penjual. Namun pesanan anda adalah hak dan selera anda yang tidak dapat diganggu-gugat, dan harus diberikan secara persis. Di sinilah letak uji nyali seorang muslim; nyali ketulusan, ketundukkan, dan keikhlasan. Ujian yang menuntut sikap pasrah dalam arti sebenarnya (kâffah).
            Al-Islâm untuk sebutan agama, adalah agama Allah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul ’alaihim al-shâlatu wa al-salâm. Hal ini dapat dipahami secara jelas dari kesamaan dasar dan intisari risalah yang dibawa para Nabi dan Rasul sebelumnya, yakni ajaran tauhid.  

”Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku" (QS. (21): 25).

            Allah SWT hanya satu  (Esa), agama-Nya juga satu yakni Islam. Agama yang satu ini pula yang diturunkan –kapanpun dan di manapun– kepada semua Nabi dan Rasul-Nya. Oleh karena semua mereka Islam, maka setiap muslim diharuskan beriman kepada semua Nabi dan Rasul.[iv] Beberapa hal berikut semakin mengukuhkan keislaman para Nabi dan Rasul terdahulu: tentang keislaman Nabi Nuh As (QS. 10: 72); keislaman Nabi Ibrahim As (QS. 3: 67); wasiat Islam Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’kub As (QS. 2: 132); doa Nabi Yusuf As supaya diwafatkan sebagai muslim (QS. 12: 101); keislaman Nabi Musa As (QS. 10: 84); pernyataan Islam murid-murid Nabi Isa As (QS. 3: 52).[v]
Risalah para Nabi ini ditutup (baca; disempurnakan) oleh kerasulan Nabi Muhammad Saw, dengan kesempurnaan wahyu al Quran dan penjelasan-penjelasan as-Sunnahnya, baik qawliyyah, fi’liyyah, maupun taqririyyah.[vi] Kesempurnaan Islam dibawah naungan nubuwat Muhammad Saw, sangat dapat diterima sebagai penyempurna risalah para Nabi sebelumnya. Tidak seperti Islam yang dibawa para Nabi sebelumnya, Islam dalam kerasulan Muhammad Saw diperuntukkan bagi seluruh umat manusia. Kecuali itu, menjadi tepat jika Islam (setelah kesempurnaannya) kemudian menyandang misi rahmatan li al ’âlamîn.
”pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS.(5): 3).

Lantas bagaimana definisi Islam secara isthilâhî (terminologis)? Mendefinisikan Islam secara terminologis berarti merumuskan ajaran illahi (Islam) secara keseluruhan. Banyak ulama dan cendikiawan muslim yang coba mendefinisikan (baca; membatasi) Islam dari berbagai sudut pandang dan aksentuasi (stressing) yang beragam. Yang terpenting, mendefinisikan Islam mesti dilakukan secara objektif, tidak apologis dan emosional,[vii] komprehensif dan mendasar, serta berbasis pada sumber otentik Islam, bukan berdasarkan pada hasil studi realitas sikap dan pemahaman-pemahaman individu yang seringkali bias dan parsial.
Sebelum sampai pada rumusan isthilâhî, perlu dibahas unsur-unsur pembangun Islam dalam konteks makro,[viii] yaitu pertama, hakikat Islam sebagai agama Allah yang murni di semua aspeknya. Kedua, materi agama yang notabene adalah wahyu illahi semata berupa aturan, petunjuk, perintah dan larangan. Ketiga, fungsi Islam sebagai petunjuk, ideologi (faham) dan jalan hidup manusia. Keempat, objek atau sasaran Islam yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia; siapa, kapan dan dimana saja. Kelima, sumber Islam berupa wahyu al Quran dan penjelasan al Sunnah sebagai gambaran otentik sang pembawa risalah; Nabi Muhammad Saw. Keenam, tujuan disyariatkannya Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia, baik di kehidupan duniawi maupun ukhrowi.
 Sistematisasi di atas menjadi penting –untuk tidak mengatakan harus– jika upaya pendefinisian terhadap Islam dilakukan dalam rangka ekstraksi ajaran Islam, agar didapat pengertian Islam yang objektif, komprehensif dan mendasar.
Dari uraian di atas, maka definisi Islam isthilâhî dirumuskan sebagai berikut:[ix]
”Wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah, berupa undang-undang serta aturan-aturan hidup sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian hidup, baik di dunia maupun di akhirat”

Sebenarnya upaya mendefinisikan Islam sudah berlangsung sejak periode Nabi dan sepanjang sejarah umat Islam sendiri. Berbagai definisi ad-Dîn (Islam) misalnya, dapat dilihat dengan jelas dan lugas dalam al-Quran, terutama dalam surat-surat Makkiah. Sebut saja surat al-Ma’ûn, di mana ad-Dîn dimaknai sebagai usaha mengejawantahkan Islam melalui tindakan-tindakan sosial tertentu seperti menyantuni anak yatim dan memberi makan orang miskin. Dalam surat al-Kâfirûn, ad-Dîn dikaitkan dengan praktek-praktek penyembahan kepada Tuhan. Pendefinisian ini terus berlangsung hingga mencapai kesempurnaannya pada periode akhir dakwah Nabi Saw.[x]
Barangkali definisi paling lengkap dan paling gamblang untuk menjelaskan Islam sebagai ad-Dîn adalah sebagaimana yang tertulis dalam salah satu hadits Nabi Saw, yang menjelaskan tiga komponen utama pembangun ad-Dîn, yaitu iman, Islam dan ihsan. Iman dimaknai sebagai tata kepercayaan secara hierarkis, Islam dijelaskan dengan sebuah perjanjian hakiki dan universal (syahadatain) hingga tidak bisa dibedakan Islamnya muslim di semua belahan dunia bahkan alam raya ini. Adapun ihsan sebagai wujud ketulusan hati seorang hamba dalam berbakti (baca; beribadah) kepada Allah SWT. Kecuali itu, ad-Dîn dalam hadits ini didefinisikan sebagai suatu kesatuan dati ketiganya (iman-Islam-ihsan), di mana tidak ada Islam kecuali sebagai buah dari iman, dan tidak berguna Islam jika tidak berbasis pada ihsan.
Jadi bertolak dari uraian di atas, jelaslah bahwa Islam adalah sekaligus institusi (baca; ad-Dîn). Dan tidak benar jika Islam hanya dimaknai sebagai aktivitas personal semata. Juga, untuk mendapatkan definisi Islam yang benar, maka harus melalui sumber-sumber yang memadai untuk menjelaskan kompleksitas Islam. Karena Islam adalah wahyu, maka yang memadai untuk menjelaskannya juga hanyalah wahyu. Dengan kata lain, definisi Islam yang benar adalah apa yang tertuang dalam al-Quran dan as-Sunnah al-shahîhah. Sementara apa yang ada di luar keduanya, hanyalah hasil pemahaman akal manusia terhadap keduanya.

2.   Dasar (Sumber) Ajaran Islam
Meski diakui bahwa din bisa disematkan kepada berbagai agama, selain Islam, namun din yang benar adalah yang melakukan istislâm (total submission) kepada Tuhan Yang Esa (Allah Swt). Tata cata submisson (berserah diri) kepada Tuhan sangat berkaitan dengan konsepsi tentang Tuhan yang dipahami suatu agama. Karena kebenaran konsep Tuhan akan turut menentukan tata cara berserah diri (baca; ibadah).[xi]
Untuk sampai pada konsepsi dan pemahaman tentang Tuhan yang benar, maka harus ada penjelasan yang memadai. Dan tidak diragukan, bahwa satu-satunya jalan yang memadai untuk menjelaskan hakikat Tuhan hanyalah melalui jalan wahyu yang berasal dari Tuhan sendiri. Bukan melalui interpretasi tradisi, etnis dan budaya atau percampuran ketiganya, termasuk spekulasi filosofis. Kecuali itu, adanya intervensi manusia dalam mencetuskan dan menetapkan hakikat Tuhan, berarti menghilangkan kemurnian ajaran suatu agama, dan patut dipertanyakan eksistensinya sebagai agama (wahyu).
Jika semua sepakat dengan logika di atas, maka yang dapat dijadikan sebagai sumber (dasar) ajaran Islam adalah sumber wahyu; al-Quran dan as-Sunnah saja, karena keduanya dapat berdiri sendiri dan mengandung kebenaran (dhalâlah) pasti. Sementara ar-Ra’yu (akal), bisa dijadikan dasar tetapi tidak bisa menjadi sumber ajaran Islam, karena tidak dapat berdiri sendiri dan tidak mengandung kebenaran (dhalâlah) pasti.[xii] Kerja akal untuk melakukan penggalian suatu hukum yang tidak dijelaskan secara jelas dalam al-Quran dan as-Sunnah disebut ijtihad. Dan ini adalah hanya seperangkat metodologi untuk menguji dan memahami substansi Islam yang terkandung dalam al-Quran dan as-Sunnah. Dengan demikan, kerja akal tetap tidak bisa dilepaskan dari dua sumber ajaran Islam. Ini juga merupakan wujud pernyerahan diri sepenuhnya, yaitu berpijak pada wahyu lalu menggunakan akal untuk memahaminya, dan bukan sebaliknya berpijak pada akal untuk memahami wahyu.[xiii]

Al Qur’an
Telah diuraikan di muka bahwa memahami agama secara benar sangat menentukan untuk dapat beragama secara benar. Untuk itu diperlukan rujukan (baca; sumber) yang memadai. Dan untuk memahami agama wahyu (Islam) maka al-Qur’an menjadi pilihan pertama dan utama.  
”Dan Kami turunkan (Al Quran) itu dengan sebenar-benarnya dan Al Quran itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan” (QS. 17: 105).

Kitab suci al-Qur’an secara harfiah berarti ’bacaan sempurna’. Pemilihan nama ini sungguh tepat dan khas, mengingat orang-orang Arab ketika itu menamakan himpunan hasil karya tulis mereka dengan Diwan. Sebagian dari Diwan dinamakan Qasidah dan sebagian dari Qasidah dinamakan Bait.  Namun Allah SWT menamakan himpunan firman-Nya dengan al-Qur’an, di mana sebagiannya dinamakan surat dan sebagian surat dinamakan ayat.[xiv]
Secara istilah al-Quran difahami sebagai firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Saw dengan perantara malaikat Jibril, sebagai mukjizat dan disampaikan kepada kita dengan jalan mutawatir, menggunakan bahasa Arab, dimulai surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
Tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca yang dapat menandingi al-Qur’an. Kitab suci ini senantiasa dibaca oleh ratusan juta meski tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menuliskan aksaranya. Bahkan banyak kalangan yang menyediakan sebagian besar waktunya untuk menghafal huruf demi hurufnya. Tiada bacaan seperti al-Qur’an yang menumbuhkan semangat thalabul ’ilm hingga melahirkan jutaan jilid buku yang diwariskan generasi demi generasi.[xv]
Keistimewaan yang demikian besar adalah bukti bahwa al-Qur’an benar-benar wahyu dari Allah baik lafaz maupun maknanya. Adapun bagi kalangan yang tidak setuju dan mengatakan bahwa al-Qur’an murni dari Allah tetapi ucapan Nabi Saw yang notabene adalah orang Arab, maka mari renungkan tiga hal berikut, yaitu pertama, fakta sejarah menjelaskan bahwa Allah SWT menantang bangsa Arab plus sekutunya yang telah mencapai puncak kejayaan sastra (baca; ilmu bayân) untuk membuat semisal al-Qur’an. Namun tidak satupun dari mereka yang mampu membuatnya walau satu ayatpun. Kedua, Nabi Saw adalah orang Arab yang ummi (tidak pandai baca-tulis), sehingga akal sulit menerima jika para ahli sastra Arab tidak mampu membuat satu ayat, namun Nabi Saw yang ummi bisa membuat ribuan ayat. Adakah kejeniusan manusia mencapai ribuan kali di atas rata-rata? Dan ketiga, al-Qur’an dan as-Sunnah menggunakan bahasa satu yakni bahasa Arab dan berasal dari lisan satu yakni lisan Nabi Saw. Mungkinkah seseorang memiliki dua gaya bahasa sekaligus?
Al-Qur’an diturunkan secara bertahap yakni dalam kurun waktu 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari, baik ayat-ayat Makkiyah maupun ayat-ayat Madaniah . Terdiri atas 30 juz, 114 surat dan 6240 ayat (tanpa basmalah).[xvi] Tentu muncul beberapa pertanyaan terkait dengan masa turunnya al-Qur’an ini. Mengapa diturunkan bertahap? Dan mengapa harus lebih 20 tahun?
Kebertahapan ini bisa dipahami bahwa al-Qur’an benar-benar memiliki fungsi hudan, senantiasa aktual, tepat guna dan memiliki daya lentur yang luar biasa. Kecuali itu, metode turunnya al-Qur’an yang demikian menjadikan kitab suci ini senantiasa mampu ’bersahabat’ dengan kehidupan manusia berikut seluruh problematikanya.
Sebagai sumber hukum utama, al-Qur’an memiliki amunisi yang maha lengkap. Dengan 114 surat, 6236 ayat, 74437 kalimat dan 325345 huruf, maka tidak ada sesuatupun yang terlewatkan. Meski demikian, apa dan bagaimana komposisi kandungan al-Qur’an masih diperselisihkan.[xvii] Namun secara global isi al-Qur’an tercermin dalam surat al-Fatihah (ummu al-Qur’ân); yang meliputi: masalah keimanan, masalah peribadatan, masalah janji (sugesti) dan ancaman, dan masalah manusia, Tuhan dan alam. Atau bisa juga melihat bagaimana Nabi Saw menggambarkan bahwa al-Qur’an diturunkan dari tujuh pintu dan tujuh huruf, yakni: perintah, larangan, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal.
Urgensi kehadiran al-Qur’an berkaitan erat dengan misi kekhalifahan manusia dalam rangka memakmurkan Bumi, melakukan amal shaleh dengan semangat egalitarian dan mengarahkan masyarakat menuju kesejahteraan dan reformasi (al islâh).[xviii]
Kemampuan al-Qur’an dalam memberikan efek modern dan kemajuan bukan sebuah idelitas utopistik dan sekadar pemanis sejarah. Salah seorang Guru Besar dari Harvard University menyatakan, bahwa dari 40 negara yang telah ditelitinya, ditemukan fakta yang sungguh mengejutkan, yakni salah satu faktor utama kemajuan negara-negara tersebut adalah terletak pada materi bacaan masyarakat terutama generasi mudanya, yang disuguhkan dua puluh tahun sebelum kemajuannya. Para generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan tertentu, hingga kemudian setelah dua puluh tahun para generasi muda itu diberi peran dalam berbagai aktivitas. Dan ternyata peranan yang dijalankan sangat dipengaruhi oleh sajian (bacaan) yang selama ini diberikan.[xix] Demikian dampak bacaan yang terlihat setelah dua puluh tahun, sama halnya dengan al-Qur’an yang turun ketika para pengemban risalah Islam masih tergolong pemuda-pemudi. Dua puluh tiga tahun periode dakwah Nabi Saw, Islam telah dapat mengubah masyarakat barbar jahiliyah terbelakang, menjadi masyarakat madani yang berkeadaban dan perperadaban tinggi. Umar ibn Khattab pernah berujar ”dulu kita termasuk bangsa yang rendah, lalu Allah meluhurkan dengan Islam”. Ini diakui oleh ilmuwan Barat Deutsch (1829-1873):
”saya melihat keajaiban satu kitab yang telah menolong umat Arab dalam membuka dunia, lebih besar daripada apa yang diperbuat Alexander de Groote, juga lebih besar dari apa yang dicapai Rumania. Pengaruh al-Qur’an lah yang menarik bangsa Arab dalam sedikit masuk  ke Eropa dan menjadi raja dunia”   

Sebagai ’bacaan’, Kitab suci al-Qur’an diturunkan memang untuk dibaca, sesuai dengan redaksi yang digunakan dalam wahyu pertama; iqra’. Mengapa iqra’ yang menjadi pilihan pertama, padahal Nabi Saw seorang ummî?

”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. 96: 1-5).

Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti ’menghimpun’. Sehingga tidak harus selalu diartikan dengan membaca teks tertulis dengan aksara tertentu. Dari makna ’menghimpun’ ini kemudian muncul makna derivatifnya, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak.[xx]
Iqra’! (bacalah), tetapi apa yang harus dibaca? ”ma aqra’?”–demikian pertanyaan Nabi Saw sewaktu menerima perintah tersebut. Pertanyaan ini tidak dijawab dan memang tidak harus dijawab secara verbal. Karena Allah menghendaki agar umat manusia membaca apa saja yang ada di alam raya baik berupa realitas qowliyah maupun realitas kauniyah selama masih dalam kerangka bismi Rabbika.
Ayat ini datang dengan membawa misi ’sadar baca’ yang mempunyai makna luas dan mendasar untuk suatu misi kebangkitan dan kemaslahatan umat manusia.[xxi] Pengulangan perintah ’baca’ dalam wahyu pertama ini, memiliki setidaknya tiga makna sekaligus, yaitu pertama, bahwa kecakapan membaca tidak bisa diperoleh melainkan dengan cara membaca berulang-kali. Kedua, aktivitas membaca sesuatu harus dilakukan secara maksimal sehingga memperoleh pemahaman yang mantap. Ketiga, dengan membaca berulang-ulang tersebut, akan menghasilkan pengetahuan baru meskipun yang dibaca sama.[xxii]
Tidak diragukan lagi bahwa fungsi utama al-Qur’an adalah sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia. Salah satu metode al-Qur’an dalam menjalankan fungsi hudan-nya adalah dengan metode qishah. Daya cerita yang dikandung al-Qur’an ini sangat berguna untuk menghantarkan manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya. Kisah-kisah faktual atau simbolik al-Qur’an tidak segan-segan menuturkan kelemahan manusiawi manusia, namun semuanya digambarkan dengan kalimat yang sopan tanpa mengundang tepuk tangan atau sampai membangkitkan potensi (baca; emosi) negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan itu, atau menggambarkan fluktuasi kesadaran manusia saat berhadapan dengan godaan nafsu (syaitan). Penyair Al Walid mengisahkan tentang surat al-Mudatsir: 11-29, ”aku diancamnya, tetapi ia (al-Quran) tetap saja indah, biarpun pada waktu menghardik dan mengancam”. Di lain tempat al-Qur’an juga mengimbanginya dengan kisah-kisah faktual yang menceritakan tentang kehidupan yang ideal, sebagai dampak positif dari kemantapan iman.
Di samping itu al-Qur’an juga berfungsi sebagai pembeda (al-Furqan) atau pemisah antara baik dan buruk; sebagai peringatan (adz-Dzikir) agar manusia tidak lengah dan terlena; sebagai obat (asy-Syifa’) bagi penyakit ruhiyah (kejiwaan);[xxiii] dan sebagai penjelas atau korektor (al-Bayân wa al-mushaddiq) bagi kitab-kitab terdahulu. Kecuali itu, tujuan al-Qur’an tidak saja bersifat religius dan mistik, namun lebih dari itu, al-Qur’an memiliki andil besar dalam menciptakan peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dan stabilitas hidup baik individu maupun kolektif. 
Kesempurnaan dan keberhasilan misi suci kerasulan Nabi Saw, digambarkan al-Qur’an dalam ayat terakhir (al-Maidah: 3). Ini juga letak pembeda antara risalah Nabi Saw dengan risalah para Nabi sebelumnya, yakni penegasan bahwa apa yang telah disampaikan adalah telah cukup sempurna dan mencukupi sebagai institusi (baca; ad-Dîn) untuk diwariskan kepada setiap generasi sesudah sampai akhir zaman.

As-Sunnah al-shahîhah 
As-Sunnah menempati kedudukan kedua sebagai sumber (hukum) Islam setelah al-Qur’an. Allah SWT telah memerintahkan dalam firman-Nya yang muhkam untuk mentaati Rasul layaknya ketaatan kepada-Nya. Allah SWT telah menjadikan sikap taat kepada Rasul-Nya sebagai indikator ketaatan seseorang kepada-Nya.

”Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (QS. 4: 80)

Yang demikian tersebut dikarenakan pada diri Rasul/Nabi Saw terdapat sikap-sikap keteladanan sebagai realisasi idealisme Islam tentang manusia sempurna (insan kamîl).
   
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (QS. 33: 21).

Tidak ada batasan tertentu dalam bertaat kepada Nabi Saw ini. Artinya, ketaatan ini bersifat universal karena Nabi Saw tidak akan pernah memerintahkan suatu perkara melainkan dalam koridor keridhaan (wahyu) Allah SWT.[xxiv] Kecuali itu, Nabi Saw tidak pernah melakukan interpretasi dengan menggunakan akal pikirannya sendiri lepas dari petunjuk dan bimbingan Allah SWT. Nabi Saw tidak berbicara tentang agama (al-Qur’an) secara mandiri dari analisis yang bersifat individual, melainkan dengan isyarat-isyarat Allah SWT.[xxv]
   
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. 53: 1-4)

Dengan demikian, pandangan beberapa kalangan yang mengingkari kehujjahan as-Sunnah (hadits) dan hanya menerima al-Qur’an, sesungguhnya telah terjebak dalam kebatilan nyata (ingkar sunnah), dan tidak dapat dikatakan sebagai orang yang taat kepada Allah SWT. Pandangan kelompok ini sangat rapuh dan tidak perlu digubris karena dilihat dari substansi pengakuannya sudah tidak benar (baca; berdasar).  
Lantas apa hakikat as-Sunnah sebenarnya? Pada hakikatnya as-Sunnah juga merupakan wahyu illahi selain al-Qur’an. Kecuali itu, bahwa ruh (baca; kandungan) as-Sunnah bermuara kepada Allah, hanya tentunya dalam bentuk dan konteks yang berbeda dengan al-Qur’an.[xxvi]
Secara harfiah as-Sunnah (hadits) berarti yang baru sebagai lawan dari yang dahulu (jadid diddu al qadim),[xxvii] atau kabar berita; sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.[xxviii] Hadits seringkali dipersamakan dengan sunnah, meski ada kalangan yang membedakan keduanya. Bagi yang berpandangan bahwa hadits dan sunnah murâdif (sinonim), sunnah adalah segala sesuatu yang dipindahkan dari Nabi Saw, berupa perkataan (qawliyah), perbuatan (fi’liyah), dan taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan dan perjalanan hidup baik yang terjadi sebelum masa kenabian maupun sesudahnya.[xxix] Namun bagi yang membedakan keduanya, sunnah dipahami sebagai sesuatu yang sering dilakukan Nabi Saw atau bahkan sudah menjadi kebiasaan beliau. Sementara hadits tidak demikian, yakni cukup dilakukan sekali dan diriwayatkan satu orang, maka sudah memadai. Dengan kata lain, sunnah meliputi (lebih luas dari) hadits.
Status atau tingkat validitas as-Sunnah sebagai sumber Islam demikian kuat, mengingat di satu sisi secara substansial merupakan wahyu Allah SWT yang jelas dan legal, dan di sisi lain secara metodologis memenuhi kriteria ilmiah; peliputan secara seksama, diperhatikan unsur validitas, reabilitas serta objektivitasnya.[xxx] Dalam upaya kodifikasi dan uji keabsahan sebuah hadits, digunakan metodologi penelitian as-Sunnah yakni ilmu musthâlah al-hadîts. Di sini, dijelaskan semua kriteria dan prasyarat diterimanya hadits (sunnah) dari aspek pembawanya (perawi), isi (matan) dan lainnya. Secara historis, proses penulisan (tadwîn) hadits penting untuk disimak. Di mana Nabi Saw semula melarang untuk menulis hadits yakni di masa al-Qur’an turun, namun menjelang akhir hayatnya beliau mengijinkan para sahabatnya untuk menulis hadits. Hal ini disengaja Nabi Saw agar antara al-Qur’an dan as-Sunnah tidak terjadi kerancuan/pembauran (over lapping), dan menunjukkan betapa beliau memiliki perhatian terhadap kedua sumber Islam tersebut. Upaya penulisan hadits secara legal dan masif baru dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (99 H-101H), khalifah kedelapan dari Dinasti Umayyah.
Sebagai sumber kedua, as-Sunnah tentu memiliki fungsi yang tidak sama dengan sumber utama (al-Qur’an). Signifikansi kehadiran as-Sunnah terletak pada perannya sebagai tafsir utama al-Qur’an; menyingkap rahasia-rahasia dan menjelaskan maksud Allah SWT.
   
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. 16: 44).

Adapun beberapa fungsi yang diperankan as-Sunnah, yaitu:[xxxi]
1.      Sebagai penguat (ta’kîd) terhadap ketentuan hukum dalam al-Qur’an.
2.      Sebagai penjelas (bayân) terhadap apa yang dimaksud al-Qur’an. Adapun objek bayan as-Sunnah adalah tafshîl dan takhshîsh terhadap ayat yang mujmal (global), ayat mutlaq, dan ayat ’am (umum), ta’yîn terhadap ayat yang musykîl (sulit dipahami), serta bayân nasakh terhadap mana ayat nasîkh dan mana ayat mansûkh.
3.      Sebagai penghapus (nasakh); yakni menghapus hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an, terutama bagi yang berpendapat as-Sunnah boleh me-nasakh ayat al-Qur’an.
4.      Sebagai dalil mandiri (tasyrî’); yakni menjadi dalil hukum atas sesuatu yang didiamkan al-Qur’an.
Tentunya tidak semua hadits dapat menjalankan peran seperti di atas, karena berbeda dengan al-Qur’an, ada sebagian hadits yang tidak memenuhi kriteria shahih (benar), sehingga hadits yang bisa menjalankan fungsi dan dijadikan hujjah hanyalah as-Sunnah al-shahîhah.
Ar-Ra’yu /Ijtihad
Adalah Mu’adz bin Jabal, sahabat yang akan dikirim Nabi Saw menjadi qadli di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi Saw mempertanyakan metode yang akan digunakan Mu’adz dalam menetapkan suatu hukum. Ia menjawab bahwa segala permasalahan akan diselesaikannya dengan al-Qur’an, namun jika di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan, ia akan menetapkan dengan sunnah Rasul, pun jika tidak ada penjelasan dalam sunnah, maka ia akan melakukan istinbath hukum berdasar pada pertimbangan akal pikirannya (ijtihad). Terhadap jawabannya ini, Nabi Saw menyatakan kekagumannya (persetujuan) seraya menepuk pundak sang sahabat.
Kisah ini di satu sisi menunjukkan adanya kesadaran Nabi Saw terhadap sunnatullah; yakni kecenderungan zaman yang terus berubah (berkembang), dan di sisi lain Nabi Saw mengakui peran vital akal untuk turut andil dalam menyelesaikan permasalahan hidup manusia. Perkembangan dan perubahan ini tentunya akan membawa permasalahan baru yang jelas berbeda dengan masa lalu. Hanya, setiap permasalahan baik dahulu, kini maupun akan datang, sama-sama menuntut penyelesaian secara baik (koridor manfaat) dan benar (koridor syariat). Lantas bagaimana Islam mempertahankan eksistensinya di tengah dinamika perkembangan dan perubahan?
Upaya untuk mempertahankan orisinalitas Islam dengan menafikan perubahan, akan mengakibatkan agama (Islam) kehilangan konteks, jumud dan kehilangan kemampuan menyapa. Namun, pemihakan terhadap perubahan dan mengabaikan aspek orisinalitas agama, maka akan mereduksi identitas Islam sebagai agama wahyu, dan fungsinya sebagai ’jalan selamat’. Karena itulah sejak awal Islam telah mengatur ragam domain keagamaan; di mana ada wilayah yang hanya perlu diimani dan dijaga orosinalitasnya, dan ada wilayah yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan akal, sesuai dengan perkembangan zaman.
Apakah berarti Islam belum sempurna? Tentu tidak demikian. Islam jelas telah sempurna, dan justru aktivitas pelibatan akal adalah dalam rangka mempertahankan eksistensi Islam yang sempurna.
Seperti telah dijelaskan di awal, aktivitas akal untuk urun-rembug dalam mendapatkan ketentuan agama terhadap suatu permasalahan disebut ijtihad. Secara harfiah ijtihad berarti mengerjakan sesuatu dengan penuh kesungguhan. Sehingga dalam konteks ini ijtihad dimaknai sebagai penggunaan akal secara maksimal untuk mendapatkan ketentuan mengenai hukum agama (Islam) dengan jalan ber-istinbath dari al-Qur’an dan as-Sunnah, karena tidak terdapat dalil nash yang sarih dan mantûq terhadap hal itu.[xxxii] Dengan ini menjadi jelas bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah menjadi landasan dalam melakukan ijtihad, dan akal tidak berdiri sendiri. Kecuali itu, ijtihad merupakan metodologi penggalian hukum yang muncul sebagai konsekuensi logis dari pengakuan terhadap kedudukan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang berlaku sepanjang masa.
Namun aktivitas ijtihad tentu tidak dapat dilakukan secara masif dan serampangan. Dari aspek subjek (mujtahid), ijtihad dapat dilakukan oleh siapa, di mana dan kapan saja, sepanjang telah memenuhi syarat atau kriteria memadai. Tanpa ini, lantas bagaimana membedakan orang yang beritikad untuk menegakkan Islam dengan orang yang hanya berniat menghancurkan Islam? Tanpa ini pun, akal akan kehilangan fungsinya sebagai pengikat agar tidak jatuh dalam kesesatan. Untuk itulah para ulama menggariskan kriteria tertentu bagi para mujtahid, yaitu: syarat umum (Islam, dewasa, sehat akal dan berdaya intelektual);[xxxiii] syarat pokok (menguasai ilmu al-Qur’an, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, bahasa Arab, memahami tujuan syariat Islam dan qawaid kulliyah dan fiqhiyah);[xxxiv] syarat pelengkap (mengetahui perkara-perkara ijma’, khilafiyah dan belum ada kepastian hukum, mengetahui tidak adanya dalil qath’i terhadap kasus yang dihadapi, saleh dan taqwa).[xxxv]
Sedangkan dari aspek objek (sasaran), ijtihad hanya berlaku pada wilayah tertentu, seperti pada hal-hal yang tidak memiliki ketentuan hukum secara jelas, ayat-ayat/hadits yang tidak (begitu) jelas maksudnya. Ketidakjelasan ini disebabkan karena kandungan makna yang lebih dari satu. Termasuk dalam hal ini adalah ayat-ayat yang ketika diimplementasikan secara tekstual seringkali berseberangan dengan kemaslahatan umat.[xxxvi] Sehingga diperlukan kerja akal (ijtihad) untuk menemukan moral ideal teks dan merumuskan legal spesifik yang baru. Namun terhadap wilayah format ritual Islam dan perkara yang telah diatur secara sarih, maka tidak berhak dilakukan ijtihad. Dalam hal ini Allah tidak perlu menjelaskan ’illat (alasan) mengapa thawaf harus tujuh kali putaran dengan ka’bah di sisi kiri, pun tidak perlu penjelasan rasional mengapa shalat subuh itu dua rakaat.
     Membatasi aktivitas ijtihad bukan berarti mempersempit atau menutup pintu ijtihad. Hanya, ijtihad merupakan derajat dan martabat yang tinggi secara syar’i,[xxxvii] untuk mengentaskan kejahilan umat dan memberantas mental taqlid buta. Sehingga, kontekstualisasi pemahaman teks-teks normatif mengandung makna bahwa masyarakat di mana dan kapan saja berada, selalu dipandang positif optimistis oleh Islam yang dibuktikan dengan sikap khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata yang ada selama mengandung kemaslahatan umat manusia. Kecuali itu, benarlah bahwa al-Islâm shâlih li kulli zamân wa makân (Islam baik dan relevan di setiap masa dan tempat).[xxxviii]



[i] Syamsul Anwar. 2005. Pemikiran Muhammadiyah: Respon terhadap Liberalisasi Islam. Surakarta: Muhammadiyah University Press UMS.
[ii] Idem.
[iii] Idem.
[iv] Hamka, dalam Tatapangarsa, dkk. 2002. Pendidikan Agama Islam untuk Mahasiswa. Malang: Unit Pengelola Mata Kuliah Umum UM Malang.
[v] Tatapangarsa, dkk. Idem.
[vi] Pandangan ini sama dengan yang tertuang dalam buku saku Prinsip-prinsip Muhammadiyah. 1992. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang
[vii] Abdul Majid. 1996. Al-Islam. Malang: Lembaga Studi Islam-Kemuhammadiyahan UMM
[viii] Idem
[ix] Idem
[x] Syamsul Anwar. Loc. Cit.
[xi] Adian Husaini. Idem.
[xii] Buku Saku Prinsip-prinsip Muhammadiyah. 1992. Malang: UMM
[xiii] M. Quraish Shihab. 2005. Logika dan Agama. Jakarta: Lentera Hati
[xiv] Tatapangarsa, dkk. 2002. Pendidikan Agama Islam untuk Mahasiswa. Malang: Unit Pengelola Mata Kuliah Umum UM Malang.
[xv] ----------------------. 2003. Wawasan Al-Qur’an. Jakarta: Mizan
[xvi] Abdul Majid. 1996. Al-Islam. Malang: Lembaga Studi Islam-Kemuhammadiyahan UMM
[xvii] Tatapangarsa, dkk. Loc. Cit.
[xviii] Muhammad Alwi al-Maliki. 2003. Syariat Islam. (terj. Mustaqim). Yogyakarta: elSAQ Press.
[xix] M. Quraish Shihab. Op. Cit.
[xx] Idem.
[xxi] Abdul Majid. Loc. Cit.
[xxii] M. Quraish Shihab. Op. Cit.

[xxiii] Tatapangarsa, dkk. 2002. Pendidikan Agama Islam untuk Mahasiswa. Malang: Unit Pengelola Mata Kuliah Umum UM Malang.
[xxiv] Muhammad Alwi al-Maliki. 2003. Syariat Islam. (terj. Mustaqim). Yogyakarta: elSAQ Press.
[xxv] Abdul Majid. 1996. Al-Islam. Malang: Lembaga Studi Islam-Kemuhammadiyahan UMM
[xxvi] Idem.
[xxvii] Mahmud Thahhan. Taisir Mushthalah al-Hadits. Beirut: Darul Fikri
[xxviii] Tatapangarsa, dkk. 2002. Pendidikan Agama Islam untuk Mahasiswa. Malang: Unit Pengelola Mata Kuliah Umum UM Malang.
[xxix] Idem.
[xxx] Abdul Majid. Loc. Cit.
[xxxi] Muhammad Alwi al-Maliki. 2003. Syariat Islam. (terj. Mustaqim). Yogyakarta: el SAQ Press.
[xxxii] Buku Saku Prinsip-prinsip Muhammadiyah. 1992. Malang: UMM
[xxxiii] Zuhdi, dalam Abdul Majid. Loc. Cit.
[xxxiv] Tatapangarsa, dkk. 2002. Pendidikan Agama Islam untuk Mahasiswa. Malang: Unit Pengelola Mata Kuliah Umum UM Malang.
[xxxv] Zuhdi, dalam Tatapangarsa, dkk. Idem.
[xxxvi] M. Saad Ibrahim. 2005. Pemikiran Muhammadiyah: Respon terhadap Liberalisasi Islam. Surakarta: Muhammadiyah University Press UMS.
[xxxvii] Muhammad Alwi al-Maliki. 2003. Syariat Islam. (terj. Mustaqim). Yogyakarta: elSAQ Press.
[xxxviii] M. Quraish Shihab. 2005. Logika dan Agama. Jakarta: Lentera Hati